Seni Beladiri Tangan Kosong Merpati
Putih yang organisasinya terbentuk pada tanggal 2 april 1963 di
Yogyakarta, merupakan nilai budaya bangsa Indonesia yang diturunkan oleh
Sang Guru Saring Hadi Purnomo kepada kedua putranya yaitu Poerwoto Hadi
Purnomo dan Budi Santoso Hadi Purnomo. Dalam
rangka pengembangannya, seni beladiri ini didasarkan atas empat sikap,
watak dan perilaku sebagaimana yang diamanatkan oleh Sang Guru yaitu :
welas asih, percaya diri sendiri, keserasian dan keselarasan dalam
penampilan sehari-hari, dan yang terakhir menghayati dan mengamalkan
sikap itu agar menimbulkan ketakwaan kepada Tuhan Yang Mahaesa, dan
kesemuanya itu dilengkapi dengan falsafah dari perguruan yaitu MERsudi PAtitising TIndak PUsakane TItising Hening (Mencari sampai mendapatkan tindakan yang benar dengan ketenangan) yang kemudian disingkat menjadi MERPATI PUTIH.
Sejarah Merpati Putih
Seni Beladiri Tangan
Kosong Merpati Putih yang organisasinya terbentuk pada tanggal 2 april
1963 di Yogyakarta, merupakan nilai budaya bangsa Indonesia yang
diturunkan oleh Sang Guru Saring Hadi Purnomo kepada kedua putranya
yaitu Poerwoto Hadi Purnomo dan Budi Santoso Hadi Purnomo (Alm).
Dalam
rangka pengembangannya, seni beladiri ini didasarkan atas empat sikap,
watak dan perilaku sebagaimana yang diamanatkan oleh Sang Guru yaitu :
welas asih, percaya diri sendiri, keserasian dan keselarasan dalam
penampilan sehari-hari, dan yang terakhir menghayati dan mengamalkan
sikap itu agar menimbulkan ketakwaan kepada Tuhan Yang Mahaesa, dan
kesemuanya itu dilengkapi dengan falsafah dari perguruan yaitu MERsudi PAtitising TIndak PUsakane TItising Hening (Mencari sampai mendapatkan tindakan yang benar dengan ketenangan) yang kemudian disingkat menjadi MERPATI PUTIH.
Gambaran
awal dari perjalanan dari keilmuan dan perkembangan perguruan berasal
dari Keraton Mataram lama di Kartosuro yang berasal dari seorang wanita
bangsawan yaitu Nyi Ageng Joyorejoso yang kemudian mempunyai tiga orang
putra yaitu Gagak Handoko, Gagak Samudero, dan Gagak Seto masuk dalam
Grat IV.
Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Pangeran Prabu Mangkurat Ingkang Jumeneng Ing Kartosuro.
Grat I : BPH Adiwidjojo
Grat II : PH Singosari: BPH Adiwidjojo
Grat III : RA Djojorejoso – Ing Wadas
Grat IV : RM Rekso Widjojo – Ing Baledono
Grat V : R Bongso Permono – Ing Ngulakan Wates
Grat VI : RM Wongso Widjojo – Ing Ngulakan Wates
Grat VII : R Saring Siswo Hardjono – Ing Ngulakan
Grat I, mempunyai saudara BP Amangkurat Amral
Grat III, membuat jalan Margoyoso, dalam legenda menjadi Demang Margoyoso
Grat IV, mendirikan perguruan yang pelaksanaannya dikembangkan oleh 3 orang puteranya atau keturunannya yaitu :
- Gagak Handoko, mendirikan perguruan di gunug Jeruk (Pegunungan Manoreh).
- Gagak Samudero, mendirikan perguruan di daerah Bagelan, yang akhirnya pindah ke daerah utara Pulau Jawa.
- Gagak Seto, mendirikan perguruan di daerah Magelang (Pulau Jawa Bagian Tengah).
Gagak
Handoko mengembara ke dareh timur Pulau Jawa melalui pantai selatan
sehingga sampai di daerah gunung Kelud dengan tujuan mempelajari dan
mengetahui keadaan daerah itu, disamping sambil mencari dua saudaranya
yang terpisah. Di dalam pengembaraannya beliau menyamar sebagai Ki Bagus
Kerto. Sebelum beliau mengembara, perguruan Gagak Handoko yang
didirikan di Gunung Jeruk telah berkembang dengan cepat.
Beliau
sadar akan usianya yang semakin tua. Beliau memberi mandat penuh dan
amanat pada keturunannya yang pada silsilah termasuk dalam Grat V, yaitu
R Bongso Permono Ing Ngulakan Wates. Setelah Gagak Handoko menyerahkan
tampuk kepemimpinan perguruan, beliau lalu menyepi (bertapa) mencari
kesempurnaan hingga sampai meninggalnya di Gunung Jeruk.
Dari
R. Bongso Permono kemudian diturunkan ilmunya kepada keturunannya yaitu
RM. Wongso Widjojo. Beliau lalu mengikuti jejak ayahnya mencari
kesempurnaan.
Pada
masa kepemimpinan RM. Wongso Widjojo, oleh karena beliau tidak
mempunyai keturunan, maka beliau mengambil murid yang kebetulan dalam
keluarga masih ada hubungan cucu, yang bernama R. Sarengat Siswo
Hardjono (Sarengat Hadi Poenomo), yang termasuk dalam garis keturunan
VII (Grat VII).
Perlu
diketahui bahwa ajaran tersebut belum lengkap, maka beliau tidak segera
mengembangkan /mengajarkan pada keturunannya, akan tetapi berusaha
keras menelaah dan menjabarkan ilmu tersebut menuangkan dalam gerak
silat dan tenaga yang tersimpan yang ada di naluri suci. Tidak berhenti
disitu saja, beliau juga mencari kelengkapannya, yaitu dari ajaran Gagak
Samudero dan Gagak Seto. Akan tetapi beliau belum berhasil juga
menemukan langsung, hanya naluri beliau, bahwa dua aliran yang mempunyai
materi yang sama tersebut mengembangkan ilmu di daerah pantai utara
Pulau Jawa.
Hasil
dari pengembangan ilmunya itu lalu diturunkan kepada kedua putranya (2
orang kakak beradik) yang bernama Poerwoto Hadi Poernomo (Mas Poeng) dan
Budi Santoso Hadi Poernomo (Mas Bud). Sekitar tahun 1960 R Sarengat
Hadi Poernomo aktif membina putranya untuk menguasai beladiri Mataram
ini yang dinamakan Merpati Putih.
Pada
tahun 1962 kedua putera R. Sarengat Hadi Poernomo mendapat amanat dari
Sang Guru, yang sekaligus ayahnya, agar ilmu beladiri yang sebelumnya
milik keluarga tersebut disebarluaskan kepada umum demi kepentingan
bangsa. Sejak saat itu beladiri Mataram yang kita kenal dengan Merpati
Putih dikenal oleh Masyarakat berkat usaha keras dan tekun dari kedua
putera Sang Guru. Dalam menyampaikan latihan Sang Guru tidak
segan-segasn turun langsung dan memberi wejangan yang pada dasarnya
untuk membangkitkan gairah dan perkembangan Merpati Putih.
Tahun
1968 kedua putera Sang Guru sebagai pucuk pimpinan menjadi motor untuk
mengembangkan sayapnya, yaitu dengan dibukanya cabang pertama di Madiun,
Jawa Timur. Selanjutnya pihak militer juga ditembus. Dari hasil
peragaannya, Merpati Putih mendapat kehormatan untuk melatih anggota
Seksi I Korem 072 dan Anggota Batalyon 403/Diponegoro di Yogyakarta.
Tahun
1973 melalui perkenalan-perkenalan sebelumnya dengan pihak AKABRI,
Merpati Putih mendapat undangan untuk diadakan penelitian dari segi-segi
yang menyangkut metode latihan. Penelitian di bagian AKABRI Udara ini
ditangani oleh tenaga-tenaga ahli dari Fakultas Kedokteran UGM, antara
lain Prof. Dr. Achmad Muhammad. Hasilnya menggembirakan, dan ini
mendorong pengembangan wawasan yang lebih luas bagi Merpati Putih.
Di
Jakarta tahun 1976, setelah berhasil melakukan pendekatan, Merpati
Putih mendapat kehormatan untuk melatih para Anggota Pasukan Pengawal
Presiden. Tahun 1977 Komisariat Jakarta dibentuk, dan pada tahun ini
pula Merpati Putih mendapat peluang untuk melatih pasukan Koppasandha
(RPKAD) di Cijantung sampai mereka sanggup memperagakan keahlian mereka
pada acara peringatan HUT ABRI 5 Oktober 1978.
Pada
awal hijrahnya Mas Poeng dan Mas Bud ke Jakarta sejak Maret 1976,
dengan membina Pasukan Pengawal Presiden dan Koppasandha, maka secara
mendadak pula membina pelajar/mahasiswa di Jakarta. Dengan kondisi
tersebut perguruan merasa kedodoran, terutama dalam menyiapkan kader
pelatih dan masalah keorganisasian serta metode pendidikan dan latihan.
Oleh sebab itu sejak tahun 1978 sampai dengan tahun 1985, perguruan
melakukan pembinaan secara terus menerus ke dalam, guna persiapan
menghadapi perkembangan perguruan yang animo dan keinginan masyarakat
begitu besar terhadap Merpati Putih.
Persiapan
tidak hanya diarahkan pada penyedian kader pelatih saja, namun kesiapan
metode dan program yang teruji pun menjadi garapan perguruan. Sejak
tahun 1973, penelitian dengan nama SETA (Sehat dan Tangkas) yang
dilakukan bekerjasama dengan AKABRI Bagian Udara dan UGM. Uji coba dan
penelitian terus dilakukan pada kegiatan-kegiatan sejenis, seperti
kerjasama perguruan dengan Kobangdiklat/Pusjasmil TNI AD di Cimahi tahun
1984, kerjasama dengan rumah sakit Pertamina di Jakarta tahun 1984,
bekerjasama dengan YON II 203/Arya Kemuning tahun 1985, bekerjasama
dengan UPT Lab Uji Konstruksi BPPT Serpong Tangerang tahun 1986.
Dengan
persipan perguruan, baik dari segi organisasi maupun keilmuan, maka
selanjutnya dari tahun ke tahun Beladiri Tangan Kosong Merpati Putih
berkembang keseluruh pelosok tanah air. Data terakhir yang diperoleh
telah terbentuk 62 cabang dan 3 cabang diantarannya di luar negeri.
Kendati
perkembangan perguruan meliputi aspek beladiri dan olahraga berkembang
cukup pesat, namun perguruan tetap mencoba menyentuh aspek sosial, yakni
melalui Yayasan Merpati Putih Abadi membuat dan melaksanakan suatu
program pembinaan bagi tuna netra sejak tahun 1989. Program ini mendapat
simpati dari pihak pemerintah dan masyarakat luas, sehingga dalam
perkembangannya sudah dibentuk beberapa pusat/sentral pembinaan Merpati
Putih di beberapa cabangnya.
Tidak
dapat disangkal lagi bahwa Perguruan Pencak Silat Bela Diri Tangan
Kosong Merpati Putih mendapat tempat diberbagai kalangan sebagai salah
satu aset kebudayaan bangsa yang patut dibanggakan dengan tidak
menghilanglan jatidirinya sebagai perguruan pencak silat dengan bernaung
dibawah bendera IPSI.
Ilmu Merpati Putih diwariskan secara
turun-temurun di lingkungan keluarga pada masa Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun
Kanjeng Susuhunan Pangeran Prabu Mangkurat Ingkang Jumeneng Ing Kartosuro atau
yang lebih dikenal dengan sebutan Pangeran Prabu Amangkurat II atau Sunan Tegal
Wangi atau Sunan Tegal Arum. Karena kondisi yang ditimbulkan oleh penjajah
kolonial Belanda pada saat itu, Pangeran Prabu Amangkurat II mengadakan
pengungsian di daerah Bagelen (wilayah terpencil di Yogyakarta) bersama cicit
perempuannya, yaitu RA Djojoredjoso. Disela-sela kesibukannya dalam memikirkan
mengatur situasi kenegaraan (kerajaan), beliau sempat membimbing, menggembleng
serta mengawasi cicitnya dalam menekuni ilmu beladiri.
RA Djojoredjoso kemudian mewariskan
ilmunya kepada tiga orang putranya, yaitu Gagak Handoko, Gagak Samudro dan
Gagak Seto, menurut spesialisasinya masing-masing. Gagak Samudro diwarisi ilmu
pengobatan, sedangkan Gagak Seto ilmu sastra. Untuk seni beladiri diturunkan
kepada Gagak Handoko.
Konon tiga saudara ini tercerai
berai karena kondisi penjajahan kolonial pada saat itu. Kabarnya Raden Gagak
Seto melarikan diri ke arah timur dan Raden Gagak Samudro lari ke arah barat,
sedangkan Raden Gagak Handoko masih tetap berdomisili di daerah Yogyakarta.
Semasa pelariannya, Gagak Samudro mendirikan perguruan di Gunung Jeruk di
daerah Pegunungan Menoreh. Gagak Handoko mendirikan perguruan di daerah
Bagelen, yang akhirnya pindah ke daerah utara Pulau Jawa. Gagak Seto mendirikan
perguruan di daerah sekitar Magelang, Jawa Tengah.
Lewat Raden Gagak Handoko inilah
garis sejarah warisan ilmu yang sekarang kita kenal sebagai Merpati Putih tidak
terputus. Namun Gagak Handoko mengerti bahwa ajaran perguruan tersebut
sebenarnya kurang lengkap, maka beliau tidak segera mengembangkan dan
menurunkan kepada keturunannya, akan tetapi berusaha keras menelaah dan
menjabarkan ilmu tersebut lalu menuangkan dalam gerakan silat dan tenaga
tersimpan yang ada di naluri suci. Tidak berhenti di situ saja, beliau juga
berusaha mencari kelengkapannya, yaitu dari aliran Gagak Samudro dan Gagak
Seto. Akan tetapi beliau belum berhasil menemukan langsung, hanya naluri
beliau, bahwa dua aliran yang punya materi sama tersebut mengembangkan ilmu di
daerah pantai utara Pulau Jawa dan bagian tengah Pulau Jawa.
Beliau sadar akan usia ketuaannya
yang tidak sanggup lagi melanjutkan pengembangannya, maka beliau memberi mandat
penuh dan amanat kepada keturunannya, yaitu R Bongso Permono Ing Ngulakan
Wates, untuk melanjutkan perkembangan perguruan. Dan setelah Gagak Handoko
menyerahkan tumpuk kepemimpinan perguruan, beliau lalu pergi menyepi bertapa
hingga sampai meninggalnya di Gunung Jeruk.
Dalam kepemimpinan R Bongso Permono,
perkembangan perguruan semakin suram dan mundur. R Bongso Permono sadar akan
keadaan itu. Maka setelah menurunkan ilmunya kepada keturunannya, beliau
mengikuti jejak ayahnya mencari kesempurnaan. Keturunannya itu bernama RM
Wongso Widjojo. Pada masa kepemimpinan RM Wongso Widjojo, perguruan juga tidak
dapat berkembang seperti yang diharapkan ayahnya. Oleh karena tidak mempunyai
keturunan, maka beliau mengambil murid yang kebetulan dalam keluarga masih ada
hubungan cucu yang bernama R Saring Siswo Hadi Poernomo.
R Saring Hadi Poernomo juga
melengkapi ilmu beladiri tersebut dengan menggali ajaran Gagak Samudro dan
Gagak Seto. Hasil pengembangannya kemudian diturunkan kepada dua orang
putranya, yaitu Poerwoto Hadi Poernomo (Mas Pung) dan Budi Santoso Hadi
Poernomo (Mas Budi). Sang Guru, Saring Hadi Poernomo, pada awal tahun 1960-an
prihatin terhadap perkembangan kehidupan generasi muda yang terkotak-kotak
membentuk kelompok-kelompok yang mencerminkan rapuhnya persatuan dan kesatuan
bangsa. Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD
1945 adalah milik bangsa Indonesia, oleh karena itu setiap warga negara
Indonesia mempunyai tanggung jawab, hak, dan kewajiban yang sama dalam
melestarikan kehidupan bangsa dan mencapai tujuan negara. Seni budaya Indonesia
yang mencerminkan nilai-nilai luhur bangsa merupakan kekayaan bangsa Indonesia
yang harus dibina dan dikembangkan guna memperkuat penghayatan dan pengamalan
Pancasila, kepribadian bangsa, mempertebal harga diri dan kebanggaan nasional
serta memperkokoh jiwa persatuan.
Atas dasar hal tersebut, tergerak
hati nurani beliau untuk berbuat sesuatu demi kecintaannya pada nusa, bangsa,
dan negara. Sumbangsih beliau hanya didasari keyakinan bahwa sikap dan
perbuatan sekecil apapun, apabila dilandasi oleh itikad baik pasti akan ada
hasilnya. Keyakinan tersebut hingga kini menjadi semboyan perguruan yaitu
SUMBANGSIHKU TAK SEBERAPA NAMUN KEIKHLASANKU NYATA.
Silsilah turunan aliran PPS Betako
Merpati Putih :
Grat I
|
:
|
BPH Adiwidjojo
|
||||
Grat II
|
:
|
PH Singosari
|
||||
Grat III
|
:
|
RA Djojoredjoso
|
||||
Grat IV
|
:
|
Gagak Handoko
|
||||
Grat V
|
:
|
RM Rekso Widjojo
|
||||
Grat VI
|
:
|
R Wongso Djojo
|
||||
Grat VII
|
:
|
Djo Premono
|
||||
Grat VIII
|
:
|
RM Wongso Widjojo
|
||||
Grat IX
|
:
|
Kromo Menggolo
|
||||
Grat X
|
:
|
R Saring Hadi Poernomo
|
||||
Grat XI
|
:
|
Poerwoto Hadi Poernomo dan Budi
Santoso Hadi Poernomo
|
||||
Grat XII
|
:
|
Amos Tri Nugroho dan Nehemia Budi
Setyawan
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar